Pembatasan Konten dan Ancaman Terhadap Kebebasan Pers: Kritik Terhadap Revisi Undang-Undang Penyiaran di Indonesia

 

Hoembala-Media
Foto : Hoembala-Media
Parlemen Indonesia tengah mengusulkan perubahan pada undang-undang penyiaran yang akan melarang jurnalisme investigasi dan konten LGBT, memicu kritik dari kelompok masyarakat sipil dan pembuat film atas pembatasan kebebasan pers dan ekspresi kreatif.

Perubahan pada undang-undang penyiaran tahun 2002 pertama kali dibahas pada tahun 2020, namun rincian dalam revisi terbaru telah menimbulkan kekhawatiran, dengan Dewan Pers Indonesia mengatakan hal tersebut akan merusak kemerdekaan media.

"Dampaknya terhadap kebebasan pers sangat serius," kata Arif Zulkifli, kepala divisi hukum dan legislasi dewan. "Undang-undang pers Indonesia menyatakan tidak boleh ada sensor atau larangan terhadap jurnalisme. Jadi ini bertentangan."

Pemerintah belum menerima draf RUU tersebut, kata menteri komunikasi Budi Arie Setiadi kepada Reuters, menambahkan bahwa revisi tersebut tidak boleh membelenggu kebebasan media.

Pembatasan yang direncanakan terhadap jurnalisme di demokrasi terbesar ketiga di dunia ini akan merugikan kebebasan berekspresi dan kebebasan yang sudah lama diraih sejak Indonesia keluar dari rezim otoriter pada tahun 1998, demikian kata organisasi jurnalis dan masyarakat sipil.

RUU tersebut tidak memberikan rincian tentang larangan jurnalisme investigasi yang diusulkan dan bagaimana cara kerjanya, tetapi kelompok-kelompok jurnalis khawatir tentang sensor.

"Ini akan berarti bahwa kami sebagai jurnalis tidak akan lagi bisa mengungkapkan cerita-cerita penting, seperti korupsi, nepotisme, dan kejahatan lingkungan," kata Bayu Wardhana, ketua asosiasi jurnalis independen, mengenai RUU tersebut.

"Jika RUU tersebut diterapkan, tidak akan ada kemerdekaan pers," kata ketua Dewan Pers Indonesia, Ninik Rahayu, menambahkan bahwa dewan tidak diajak berkonsultasi selama proses penyusunan RUU tersebut.

RUU tersebut juga menuai kritik karena mencoba melarang konten yang menampilkan kekerasan, mistikisme, LGBT, atau "perilaku atau gaya hidup negatif yang berpotensi merugikan masyarakat".

Pembuat film terkemuka Joko Anwar mengecam proposal tersebut, menggambarkannya sebagai "berbahaya" dan "mustahil" untuk dilaksanakan.

"Pembatasan terhadap konten semacam itu tidak hanya menghambat kreativitas industri kreatif dan kebebasan pers, tetapi juga melemahkan kemampuan orang untuk menyaring apa yang mereka tonton," katanya.

Legislator dari komisi 1, yang mengawasi RUU tersebut, telah menekankan bahwa revisi RUU tersebut berada dalam tahap awal dan dapat berubah.

"Kami tidak ingin memberikan kesan bahwa kami homofobik, dan memonitor secara berlebihan," kata Nico Siahaan, anggota komisi 1, menambahkan bahwa RUU tersebut akan didiskusikan secara intens.

Homoseksualitas adalah topik tabu di Indonesia, salah satu negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, di mana hal tersebut ilegal di provinsi Aceh yang diberlakukan oleh syariah.

Jika disahkan, perubahan tersebut akan berlaku untuk semua konten yang disiarkan di Indonesia, termasuk platform streaming online.

Parlemen Indonesia telah membahas serangkaian revisi hukum kontroversial dalam beberapa minggu terakhir, termasuk perubahan pada undang-undang mahkamah konstitusi yang akan memberi pemerintah kekuatan lebih besar untuk memberhentikan hakim yang sedang menjabat.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama