Indonesia Tetap Waspada: Sub-Varian KP.1 dan KP.2 Tak Terbukti Lebih Berbahaya, Protokol Kesehatan Harus Ditaati

Hoembala-Media
Foto : Hoembala-Media
Seorang pejabat kesehatan mendesak masyarakat untuk tetap mengikuti protokol kesehatan meskipun belum ada bukti bahwa sub-varian COVID-19 KP.1 dan KP.2 menyebabkan penyakit serius.

"Tidak ada indikasi bahwa kedua sub-varian tersebut lebih menular atau berbahaya dibandingkan varian lainnya," kata Mohammad Syahril, juru bicara Kementerian Kesehatan, dalam pernyataan resmi pada hari Rabu.

Dia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tetap waspada terhadap kedua sub-varian tersebut.

Data dari Kementerian Kesehatan Singapura menunjukkan peningkatan kasus COVID-19 dari 13.700 pada pekan ke-18 (28 April–4 Mei) menjadi 25.900 kasus pada pekan ke-19 (5–11 Mei). Selama periode yang sama, jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit meningkat dari 181 menjadi 250.

KP.1 dan KP.2 adalah sub-varian dari JN.1, yang merupakan sub-varian dari Omicron.

Secara global, JN.1 mendominasi kasus COVID-19 di dunia dengan 54,3 persen. Di Singapura, KP.1 dan KP.2 menyumbang dua pertiga dari kasus COVID-19.

Syahril mengatakan bahwa hingga 3 Mei, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengklasifikasikan KP.2 sebagai varian yang sedang dipantau (VUM). Namun, belum ada indikasi bahwa KP.1 dan KP.2 lebih menular atau berbahaya dibandingkan varian lainnya.

Menurut Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID) oleh ASEAN BioDiaspora Virtual Center, hingga 19 Mei, JN.1 telah menjadi varian COVID-19 yang dominan di negara-negara ASEAN pada 2023–2024.

Di ASEAN, varian KP telah terdeteksi tidak hanya di Singapura tetapi juga di Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Tidak ada kasus yang terdeteksi di Indonesia sejauh ini, kata Syahril.

"Hingga Mei 2024, kasus COVID-19 yang menyebar di Indonesia didominasi oleh sub-varian Omicron: JN.1.1, JN.1, dan JN.1.39. Untuk sub-varian KP, belum ditemukan kasus," katanya.

Dia juga menyebut bahwa berdasarkan semua data infeksi KP.1 dan KP.2 di Singapura, belum ada kebutuhan mendesak untuk memberlakukan pembatasan perjalanan.

Namun, Syahril menekankan bahwa status endemi tidak berarti COVID-19 telah sepenuhnya hilang, melainkan bahwa penyakit ini terkendali.

Masih ada kemungkinan munculnya sub-varian berbahaya yang dapat menyebabkan lonjakan jumlah kasus atau kematian, tambahnya.

Dia mengimbau masyarakat untuk terus mematuhi protokol kesehatan, seperti mencuci tangan, memakai masker di tempat ramai dan di transportasi umum, serta mendapatkan vaksinasi COVID-19, terutama bagi mereka yang berisiko tinggi tertular infeksi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama