![]() |
Foto : Spiked |
Awal Juni, giliran kandidat dewan lokal dari partai
populis kanan Alternative for Germany (AfD) yang ditusuk di Mannheim. Seminggu
kemudian, tepat sebelum pemilihan Parlemen Eropa, Perdana Menteri Denmark Mette
Frederiksen menjadi korban kekerasan di depan umum.
Namun, serangan-serangan ini nyaris tak mendapat
sorotan simpatik dari media Inggris. Bahkan, dalam kasus Fico, media malah
terkesan menyalahkannya. Pendekatan politik Fico yang dianggap
"polarisasi" disebut-sebut sebagai pemicu serangan.
Parahnya lagi, tren ini berlanjut. Pekan lalu,
pemimpin Reform UK Nigel Farage menjadi sasaran pelemparan semen basah, batu,
dan gelas kopi saat kampanye di Barnsley. Media justru lebih fokus pada gelas
kopinya, seolah ingin mengungkit insiden lemparan milkshake yang menimpa Farage
sebelumnya. Pemberitaan ini meremehkan tindakan kekerasan yang sebenarnya bisa
berakibat fatal.
Yang lebih meresahkan adalah liputan di program
Newsnight BBC Two. Mantan wali kota Bristol dari Partai Buruh, Marvin Rees,
justru menyalahkan Farage. Ia berpendapat bahwa Farage "telah menumbuhkan
budaya kebencian, kemarahan, dan pengasingan yang akhirnya memanifestasikan
diri... dalam bentuk politik agresif semacam ini." Singkatnya, Farage
"pantas" menerima serangan tersebut.
Sikap media terhadap serangan-serangan ini meng
worrying (mengkhawatirkan). Tampaknya ada standar ganda. Bisa dibayangkan jika
serangan menimpa politisi "progresif"? Bagaimana jadinya jika mantan
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern yang menjadi korban kekerasan?
Atau di ranah yang lebih dekat, bagaimana jika Caroline Lucas dari Partai Hijau
dilempari semen saat kampanye?
Karena Farage adalah politisi populis sayap kanan,
maka serangan terhadapnya seolah dianggap wajar, bahkan dibenarkan. Begitu pula
dengan Fico, yang vokal mempertahankan kedaulatan nasional Slovakia dan kritis
terhadap Uni Eropa.
Kasus Perdana Menteri Denmark Frederiksen sedikit
berbeda. Ia berasal dari Partai Sosial Demokrat yang condong kiri-tengah.
Namun, pemerintahannya dikenal tegas dalam isu imigrasi. Selain itu, mereka
juga mulai menentang agenda Net Zero Uni Eropa yang dianggap menghambat
pertumbuhan ekonomi dan mendukung pendekatan kebijakan energi yang lebih
pragmatis. Sikap kritis ini tampaknya cukup untuk mengurangi simpati media.
Sebuah pola terlihat jelas. Politisi yang tidak mengikuti arus "liberal" dan progresif, yang memperjuangkan batas negara dan kedaulatan nasional, serta yang menentang kebijakan "austeritas hijau," diperlakukan berbeda. Mereka seolah tak lagi layak dihormati, bahkan dianggap kurang manusiawi. Tak heran jika media dengan mudahnya meremehkan atau bahkan membenarkan serangan terhadap mereka.