Serangan Fisik: Politisi Populis vs. Simpati Media?

Spiked
Foto : Spiked
Dunia baru saja dikejutkan serangkaian serangan brutal terhadap para politisi Eropa. Tren ini dimulai pertengahan Mei lalu, saat Perdana Menteri Slovakia Robert Fico nyaris menjadi korban pembunuhan.

Awal Juni, giliran kandidat dewan lokal dari partai populis kanan Alternative for Germany (AfD) yang ditusuk di Mannheim. Seminggu kemudian, tepat sebelum pemilihan Parlemen Eropa, Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen menjadi korban kekerasan di depan umum.

Namun, serangan-serangan ini nyaris tak mendapat sorotan simpatik dari media Inggris. Bahkan, dalam kasus Fico, media malah terkesan menyalahkannya. Pendekatan politik Fico yang dianggap "polarisasi" disebut-sebut sebagai pemicu serangan.

Parahnya lagi, tren ini berlanjut. Pekan lalu, pemimpin Reform UK Nigel Farage menjadi sasaran pelemparan semen basah, batu, dan gelas kopi saat kampanye di Barnsley. Media justru lebih fokus pada gelas kopinya, seolah ingin mengungkit insiden lemparan milkshake yang menimpa Farage sebelumnya. Pemberitaan ini meremehkan tindakan kekerasan yang sebenarnya bisa berakibat fatal.

Yang lebih meresahkan adalah liputan di program Newsnight BBC Two. Mantan wali kota Bristol dari Partai Buruh, Marvin Rees, justru menyalahkan Farage. Ia berpendapat bahwa Farage "telah menumbuhkan budaya kebencian, kemarahan, dan pengasingan yang akhirnya memanifestasikan diri... dalam bentuk politik agresif semacam ini." Singkatnya, Farage "pantas" menerima serangan tersebut.

Sikap media terhadap serangan-serangan ini meng worrying (mengkhawatirkan). Tampaknya ada standar ganda. Bisa dibayangkan jika serangan menimpa politisi "progresif"? Bagaimana jadinya jika mantan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern yang menjadi korban kekerasan? Atau di ranah yang lebih dekat, bagaimana jika Caroline Lucas dari Partai Hijau dilempari semen saat kampanye?

Karena Farage adalah politisi populis sayap kanan, maka serangan terhadapnya seolah dianggap wajar, bahkan dibenarkan. Begitu pula dengan Fico, yang vokal mempertahankan kedaulatan nasional Slovakia dan kritis terhadap Uni Eropa.

Kasus Perdana Menteri Denmark Frederiksen sedikit berbeda. Ia berasal dari Partai Sosial Demokrat yang condong kiri-tengah. Namun, pemerintahannya dikenal tegas dalam isu imigrasi. Selain itu, mereka juga mulai menentang agenda Net Zero Uni Eropa yang dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi dan mendukung pendekatan kebijakan energi yang lebih pragmatis. Sikap kritis ini tampaknya cukup untuk mengurangi simpati media.

Sebuah pola terlihat jelas. Politisi yang tidak mengikuti arus "liberal" dan progresif, yang memperjuangkan batas negara dan kedaulatan nasional, serta yang menentang kebijakan "austeritas hijau," diperlakukan berbeda. Mereka seolah tak lagi layak dihormati, bahkan dianggap kurang manusiawi. Tak heran jika media dengan mudahnya meremehkan atau bahkan membenarkan serangan terhadap mereka.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama