![]() |
| Foto : Harian Disway |
Peristiwa tragis mengguncang
Indonesia Barat saat setidaknya 41 jiwa menjadi korban tewas setelah hujan
deras mengakibatkan banjir bandang dan aliran lahar dingin dari gunung berapi.
Kisah malam itu mencatat kilas balik mengerikan, di mana abu dan batu-batu
raksasa dari puncak Gunung Marapi, yang dikenal sebagai gunung berapi paling
aktif di Pulau Sumatera, disapu oleh arus air deras.
Sementara 17 orang masih belum
ditemukan, termasuk 3 orang di distrik Agam dan 14 di Tanah Datar, kedua daerah
yang paling terdampak banjir. Ilham Wahab, pejabat Badan Penanggulangan Bencana
Sumatra Barat, menyampaikan upaya pencarian yang gigih dengan melibatkan lebih
dari 400 orang, termasuk polisi, tentara, dan pasukan penyelamat lokal,
menggunakan teknologi canggih seperti delapan ekskavator dan drone.
Gunung Marapi, yang sebelumnya
meletus pada bulan Desember dengan merenggut lebih dari 20 nyawa, kembali
menjadi pusat tragedi. Lahar dingin, materi vulkanik yang terdiri dari abu,
pasir, dan kerikil, turun dari puncak gunung bersama dengan air hujan, menyapu
segala yang ada di jalannya. Jalan-jalan berubah menjadi sungai lumpur,
menghanyutkan kendaraan dan merusak rumah serta bangunan lainnya.
Namun, kendala tak berhenti di
situ. Kerusakan parah pada infrastruktur jalan mempersulit upaya penyelamatan,
menambah kesulitan bagi tim darurat yang telah dikerahkan.
Indonesia, yang sering dilanda
musibah tanah longsor dan banjir selama musim hujan, harus kembali berjuang
menghadapi bencana alam yang tak terduga. Peristiwa ini juga memicu pertanyaan
serius tentang dampak deforestasi akibat penebangan kayu, yang dianggap sebagai
salah satu penyebab memburuknya bencana tersebut.
Tragedi banjir dan lahar dingin ini menjadi pengingat betapa rapuhnya kita di hadapan kemarahan alam, serta perlunya langkah-langkah preventif yang lebih kuat untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang mengintai.
